Ikon Yogyakarta

MASJID PATHOK NEGARA
Sesuai dengan namanya Masjid masjid Pathok Negara ini merupakan masjid masjid yang menjadi penanda batas wilayah kekuasan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang biasa kita sebut Yogyakarta atau Jogja. Istilah pathok negara sebenarnya hanya berlaku bagi jabatan dalam suatu lembaga peradilan. Sebutan pathok negara yang kemudian melekat pada masjid-masjid kagungan dalem adalah mengikuti sebuah jabatan tersebut. Fungsi Masjid Pathok Nagara tidak semata-mata untuk pembatas saja, namun untuk tempat ibadah, tempat belajar (mengaji), tempat upacara pernikahan maupun kematian dan juga menjadi pusat penyiaran agama Islam (selain masjid raya kerajaan). Ada empat Masjid Pathok Negara yang hingga kini masih berdiri kokoh menjalankan fungsinya untuk masyarakat Yogya, Yaitu :
  1. Masjid Pathok Negara Sulthoni Ploso Kuning, batas utara
  2. Masjid Jami Nur Mlangi, batas barat
  3. Masjid Pathok Negara Ad-Darojat Babadan, batas negara bagian timur
  4. Masjid Pathok Negara Nurul Huda, batas selatan


KRATON
Kraton Yogyakarta adalah obyek utama di Kota Yogyakarta. Bangunan Bersejarah yang merupakan istana dan tempat tinggal dari Sultan Hamengku Buwana dan keluarganya ini berdiri sejak tahun 1756. Kraton Yogyakarta dengan segala adat istiadat dan budayanya menjadi ruh kehidupan masyarakat Yogyakarta. Kraton Yogyakarta juga menjadi obyek wisata utama di Kota Yogyakarta baik dari sisi peninggalan bangunannya maupun adat istiadat yang ada di dalamnya. Di Kraton Yogyakarta di samping dapat dinikmati keindahan masa lalu melalui arsitektur bangunannya, dapat juga dinikmati kesenian tradisional yang disajikan setiap harinya di Bangsal Manganti. Saat ini Kraton Yogyakarta ditempati oleh keluarga Sultan Hamengku Buwana X yang menjadi raja sekaligus gubernur di Yogyakarta.


TUGU YOGYAKARTA
Tugu Yogyakarta atau yang lebih dikenal sebagai Tugu Malioboro ini mempunyai nama lain Tugu Golong Gilig atau Tugu Pal Putih merupakan penanda batas utara kota tua Yogya. Tugu Yogya dibangun pada tahun 1755 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, pendiri kraton Yogyakarta yang mempunyai nilai simbolis dan merupakan garis yang bersifat magis menghubungkan Laut Selatan, Kraton Yogya dan Gunung Merapi.

Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan .Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), hingga akhirnya dinamakan Tugu Golong-Gilig.Keberadaan Tugu ini juga sebagai patokan arah ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I pada waktu itu melakukan meditasi, yang menghadap puncak gunung Merapi. Bangunan Tugu Jogja saat awal dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas, sementara bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar, sedangkan bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian bangunan tugu golong gilig ini pada awalnya mencapai 25 meter

Kondisi Tugu Yogya ini berubah total pada 10 Juni 1867, di mana saat itu terjadi bencana alam gempa bumi besar yang mengguncang Yogyakarta, yang membuat bangunan tugu runtuh. Pada tahun 1889, keadaan Tugu benar-benar berubah, saat pemerintah Belanda merenovasi seluruh bangunan tugu. Kala itu Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan pun menjadi lebih rendah, yakni hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itulah, tugu ini disebut sebagai De White Paal atau Tugu Pal Putih.


PANGGUNG KRAPYAK
Panggung Krapyak adalah bangunan yang berusia hampir 250 tahun dikenal sebagai tempat berburu raja-raja Kasultanan Yogyakarta. Berdiri di wilayah yang dulu dikenal dengan Hutan Krapyak, tempat putra Panembahan Senopati wafat.

Salah satu Sultan yang gemar berburu adalah Mas Jolang atau yang bergelar Prabu Hanyokrowati, raja kedua Mataram yang memanfaatkan hutan ini untuk melakukan kegemarannya berburu. Sultan lain yang gemar berburu di Hutan Krapyak adalah Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I). Beliau adalah orang yang mendirikan Panggung Krapyak lebih dari 140 tahun setelah wafatnya Prabu Hanyokrowati di hutan ini.


PURA PAKUALAMAN
Kadipaten Pakualaman adalah salah satu dari empat Kerajaan Jawa (Praja Kejawen) yang tetap eksis sampai pada hari ini. Keempat kerajaan itu sama-sama berasal dari sebuah kerajaan yang pernah berjaya di hampir seantero pulau Jawa dan sebagian Kalimantan, yaitu Mataram Islam. Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senopati (1575-1601) itu mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645).

Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan penjajah Belanda, lahirlah sebuah kerajaan baru di Jogjakarta, yaitu Kadipaten Pakualaman. Saat itu, Gubernur Jenderal Raffles menilai bahwa Sri Sultan HB II dan Sunan Solo tidak mentaati Perjanjian Tuntang. Karena itu, Sultan HB II dipaksa oleh Raffles untuk turun tahta. Kemudian, Raffles mengangkat Sri Sultan HB III dengan mengurangi daerah kekuasaan Kasultanan Jogjakarta. Sebagian dari wilayah kekuasaan Kasultanan diberikan kepada Pangeran Notokusumo yang adalah saudara dari Sri Sultan HB III. Daerah otonom ini – sebagian di dalam kota dan sebagian di daerah selatan Jogja (Adikarto) – menjadi sebuah Kadipaten baru yang dikuasai dan dipimpin oleh Pangeran Notokusumo tersebut. Pada tanggal 17 Maret 1813, Pangeran Notokusumo mengukuhkan tahtanya dan bergelar Pangeran Adipati Paku Alam I.


MASJID AGUNG
Masjid Agung Kotagede merupakan tempat ibadah Islam tertua di Yogyakarta. Masjid yang merupakan salah satu komponen asli Kotagede ini berdiri di selatan kawasan Pasar Kotagede sekarang, tepatnya di kelurahan Jagalan, kecamatan Banguntapan Bantul. Masjid Kotagede ini dibangun di jaman Kerajaan Mataram pada tahun 1640 oleh Sultan Agung bersama-sama dengan masyarakat setempat yang umumnya di Hindu dan Budha.

Memasuki halaman masjid, akan ditemui sebuah prasasti yang berwarna hijau. Adanya prasasti itu membuktikan bahwa masjid Kotagede mengalami dua tahap pembangunan. Tahap pertama yang dibangun pada masa Sultan Agung hanya merupakan bangunan inti masjid yang berukuran kecil. Karena kecilnya, masjid itu dulunya disebut Langgar. Bangunan kedua dibangun oleh raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X. Perbedaan bagian masjid yang dibangun oleh Sultan Agung dan Paku Buwono X ada pada tiangnya. Bagian yang dibangun Sultan agung tiangnya berbahan kayu sedangkan yang dibangun Paku Buwono tiangnya berbahan besi.