Masjid Jami’ Mlangi termasuk salah satu Masjid Pathok Negoro yang dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1760-an. Masjid yang berlokasi di Dusun Mlangi, Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman ini menjadi salah satu masjid yang berfungsi sebagai batas negara di wilayah barat Kerajaan Kasultanan Yogyakarta. Nama Dusun Mlangi ini tidak bisa dilepaskan dari sesosok kyai yang bernama Nur Iman alias KGPH Kertosuro. Silsilah Kyai Nur Iman adalah kakak dari tiga raja yang berkuasa di tiga kerajaan di Jawa, yaitu Pangeran Sambernyowo/RM. Mas Said/Adipati Mangkunegara I (Raja Pertama Puro Mangkunegaran), Pangeran Mangkubumi/RM. Sujono/Sri Sultan HB I (Raja Pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat) dan Susuhunan Pakubuwono III (Raja Pertama Kraton Surakarta). Pada masa awal pemerintahannya Sri Sultan HB I memberikan hadian sebidang tanah kepada beliau untuk dijadikan pusat pembelajaran agama Islam, oleh karena itu tanah tersebut dinamai ‘Mlangi’ dari kata bahasa jawa ‘Mulangi’ yang berarti mengajar.
Keberadaan Masjid Patok Nagari yang lain tidak bisa dilepaskan dari usulan Kyai Nur Iman kepada Sri Sultan HB I untuk membangun empat masjid besar untuk mendampingi dan melengkapi keberadaan Masjid Agung yang berada di kampung Kauman. Masjid yang akan dibangun tersebut disarankan oleh Kyai Nur Iman dibangun di empat arah dan diberi nama Masjid Patok Nagari. Seperti masjid kraton lainnya, Masjid Jami’ Mlangi menjadi satu dengan komplek makam yang di sebelah barat masjid tersebut. Di makam tersebut disemayamkan Kyai Nur Iman beserta kerabat kraton lainnya. Di sisi barat dimakamkan Pangeran Bei. Di utara masjid terdapat makam Pangeran Sedo Kedaton, yaitu Patih Danurejan pada masa Sultan Hamengkubuwono II. Di sisi timur adalah makam keluarga Pangeran Prabuningrat.
Rancangan bangunan Masjid Jami’ Mlangi pada awalnya sama dengan masjid kraton lainnya mengikuti gaya arsitektur Jawa dengan banyak penyangga kayu. Pada masa jaman dahulu, soko guru masjid ini berjumlah 16 buah termasuk soko utama di ruang utama masjid. Di sisi masjid dibangun pawestren, tempat khusus untuk sholat kaum putri. Di bagian depan, sisi depan, kanan dan kiri masjid terdapat blumbang sebagai tempat membersihkan kaki jamaah sebelum memasuki masjid.
Perkembangan jaman yang terus berjalan akhirnya membuat Masjid Jami’ Mlangi mengalami banyak perubahan, hanya beberapa bagian masjid yang masih terjaga keasliannya. Diantaranya adalah mustoko masjid yang konon sama dengan mustoko masjid Demak. Di sisi kanan kiri terdapat bunga-bunga melati berjumlah 17 buah. Di bagian atas terdapat sebuah godho dengan posisi berdiri. Mimbar yang ada di masjid ini juga masih asli. Di sisi depan ada tangga bertingkat. Di bagian luarnya diberi kain mori putih, seperti mimbar-mimbar di masjid kerajaan Mataram tempo dulu. Beduknya juga mempertahankan replika aslinya. Sekalipun tidak menggunakan kayu yang utuh, diameter beduk ini sama dengan ukuran bedug yang asli, yakni 165 cm.
Dalam perkembangannya, kepengurusan masjid ini pada tahun 1955 oleh Kasultanan resmi diserahkan masyarakat Mlangi. Hal ini berlangsung pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX. Sejak itu masjid yang dulunya bernama Masjid Kasultanan Mlangi berubah nama menjadi Masjid Jami' Mlangi. Namun, hubungan dengan keraton tetap terjaga. Takmir masjid Mlangi ini dulu diberi bengkok (sawah) oleh keraton. Di lokasi masjid juga terdapat abdidalem keraton. Abdi dalem yang ada di sana ada dua yaitu abdidalem pamethakan, dan abdi dalem surakso. Yang disebut terakhir ini adalah abdidalem yang berperan sebagai juru kunci pesarean. Pada bulan maulud, para abdidalem dikumpulkan dan dilakukan pasowanan ke keraton. Semenjak masjid ini diserahkan ke masyarakat,telah dilakukan pemugaran beberapa kali, seperti pada tahun 1970 dan tahun 1985.